Selasa, 20 September 2011

PENGARUH KEBUDAYAAN TERHADAP AGAMA DALAM MASYARAKAT PLURAL dan SOLUSI UNTUK MEMPERTEMUKAN BUDAYA DENGAN AGAMA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu agenda besar dalam kehidupan berbangsa dan beranegara adalah menjaga persatuan dan kesatuan dan membangun kesejahteraan hidup bersama seluruh warga negara dan umat beragama. Hambatan yang cukup berat untuk mewujudkan kearah keutuhan dan kesejahteraan adalah masalah kerukunan sosial, termasuk didalamnya hubungan antara agama dan kerukunan hidup umat beragama. Persoalan ini semakin kursial karena terdapat serangkaian kondisi sosial yang menyuburkan konflik, sehingga terganggu kebersamaan dalam membangun keadaan yang lebih dinamis dan kondusif. Demikian pula kebanggaan terhadap kerukunan dirasakan selama bertahun-tahun yang mengalami dekradasi, bahkan menimbulkan kecemasan terjadinya disintegrasi bangsa

Kecenderungan distengrasi yang muncul belakangan ini salah satu faktornya adanya sikap ekslusif terhadap pandangan ideologi dan keyakinan agama hingga akhir ketegangan. Ketegangan tersebut menjembatani dan turut menyumbang serta memperparah berbagai konflik yang terjadi ditengah-tengah masyarakat.

Sikap menggelorakan fanatisme kelompok lewat kesukuan, kedaerahan dan bahkan keagamaan, kondisi ini salah satu penyebab terganggunya kerukunan berbangsa dan beragama. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat majemuk (pluralistic society). Hal tersebut dapat dilihat pada kenyataan sosial dan semboyan Bhinneka Tunggal Eka (berbeda-beda namun satu jua).

Kemajemukan masyarakat Indonesia ditandai oleh berbagai perbedaan tapi bukan berarti itu menjadi jurang pemisah akan tetapi menjadi kesatuan yang utuh. Oleh karenanya semua usaha dilakukan dalam membangun budaya dan kerukunan beragama akan terwujud jika masing-masing masyarakat telah dapat menerima bahwa keragaman, kemajemukan itu adalah suatu keniscayaan.

Pluralisme bangsa ini sesungguhnya dapat dipandang sebagai suatu berkah karena kemajemukan itu sendiri selain menjadi sumber konflik dan perpecahan, sebenarnya juga berpotensi sebagai sumber kekuatan manakala potensi itu dapat dikembangkan ke arah perpecepatan pencapaian kesejahteraan dan persatuan.

B. Rumusan Masalah

Dari gambaran umum, latar belakang di atas maka dapatlah dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

Bagaimana peranan kebudayaan terhadap agama dalam masyarakat plural
Bagaimana peranan agama menyikapi kemajemukan
Bagaimana gambaran keniscayaan pluralitas budaya dan agama.

BAB II

DASAR TEORI

A. Pengertian Budaya

Dalam kamus umum bahasa Indonesia, kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat; dan berarti pula kegiatan (usaha) batin (akal dan sebagainya) untuk menciptakan sesuatu yang termasuk hasil kebudayaan.

Sementara itu Sultan Takdir Alisjahbana mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat dan segala kecapakan lain, yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sultan Takdir Alisjahbana, (1986 : 207)

Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengerahkan segenap potensi batin yang dimilikinya. Di dalam kebudayaan tersebut terdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat istiadat, dan sebagainya. Kesemuanya itu selanjutnya digunakan sebagai kerangka acuan atau blue print oleh seseorang dalam menjawab berbagai masalah yang dihadapinya. Dengan demikian

B. Pengertian Agama

Kata agama berasal dari bahasa sangsekerta, terdiri dari dua kata, yaitu a dan gama; a berarti tidak dan gama berarti kacau, maksudnya tidak kacau atau teratur; hal ini berarti orang beragama itu akan memperoleh ketentraman dan hatinya penuh kedaimaian. H.M. Yusran Asmuni, (1997 : 1)

Di samping itu ada pula yang mengatakan, kata agama berasal dari kata gam yang berarti tuntunan, karena agama itu menjadi tuntunan hidup dalam kehidupan seseorang di dunia ini. Dalam masyarakat selain kata agama dikenal pula kata din dari bahasa Arab dan kata religi dari bahasa eropa. Harun Nasution, (1985 ; 1).

Adapun pengertian agama dari sudut istilah sangat sulit untuk didefinisikan karena dalam hal ini tergantung kepada pengalaman yang mendefinisikan jadi bersifat subjektif, intern dan individual, dimana setiap orang akan merasakan pengalaman agama yang berbeda

C. Pengertian Pluralitas

Pluralitas berasal dari bahasa Inggris, plural, antonym dari kata singular, secara genetika ia berarti kejamakan atau kemajemukan. Dengan kata lain, ia adalah kondisi objektif dalam suatu masyarakat yang terdapat didalamnya sejumlah kelompok saling berbeda, baik strata ekonomi, ideologi, keimanan, maupun latar belakang etnis.

Secara filosofis, pluralitas dibangun dari prinsip pluralisme, yaitu sikap, pemahaman dan kesadaran terhadap kenyataan adanya kemajemukan, keragaman sebagai sebuah keniscayaan, sekaligus ikut secara aktif memberikan makna signifikannya dalam konteks pembinaan dan perwujudan kehidupan berbangsa dan bernegara kearah manusiawi yang bermartabat.

Pluralitas adalah keragaman dalam sebuah wujud persatuan. Keragaman, keunikan, dan parsial itu merupakan realitas yang tak terbantahkan, secara sosiologis, manusia terdiri dari berbagai etnis dan budaya yang saling berbeda dan mengikat dirinya antara satu dengan lainnya.

BAB III

STUDI KASUS

A. Peranan Kebudayaan terhadap Agama dalam masyarakat

Kebudayaan tampil sebagai perantara yang secara terus menerus dipelihara oleh para pembentuknya dan generasi selanjutnya yang diwarisi kebudayaan tersebut.

Kebudayaan yang demikian selanjutnya dapat pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada dataran empiriknya atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat. Pengalaman agama yang terdapat di masyarakat tersebut diproses oleh penganutnya dari sumber agama yaitu wahyu melalui penalaran. Kita misalnya membaca kitab fikih, maka fikih yang merupakan pelaksanaan dari nash Al-Qur’an maupun hadis sudah melibatkan unsur penalaran dan kemampuan manusia. Dengan demikian agama menjadi membudaya atau membumi di tengah-tengah masyarakat. Agama yang tampil dalam bentuknya yang demikian itu berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat tempat agama itu berkembang. Dengan melalui pemahaman terhadap kebudayaan tersebut seseorang akan dapat mengamalkan ajaran agama.

Manusia misalnya memjumpai kebudayaan berpakaian, bergaul, bermasyarakat, dan sebagainya. Ke dalam produk kebudayaan tersebut unsur agama ikut berintegrasi. Dalam pakaian model jilbab, kebaya atau lainnya dapat dijumpai dalam pengalaman agama. Sebaliknya tanpa adanya unsur budaya, maka agama akan sulit dilihat sosoknya secara jelas.

B. Peranan Agama Menyikapi Kemajemukan

Perlu disadari bahwa setiap umat atau kelompok yang benar-benar hidup sesuai dengan amanah agamanya masing-masing, maka kerukunan, persaudaraan, kedaimaian dan kenyamanan akan hadir dengan sendirinya dalam kehidupan manusia karena semua agama mengajarkan kebenaran dan kebaikan tak ada yang menginginkan keburukan, pertikaian, diskriminal dan lain-lain. Selain itu harus ada usaha nyata antara mat yang berbeda itu untuk menjalin sumber rahmat dan kasih bagi sesamanya. Semakin sukses di dalam meng-agama-kan isi dan gaya hidupnya masing-masing menurut ajaran agama, semakin nyatalah bunga dan buah dari iman dan iman semakin gagal. Meng-agama-kan hidup, meranalah atau kaburlah iman yang seharusnya menjadi nyata di dalam hidup yang penuh rahmat dan kasih bagi sesama.

Hidup beragama tampak pada sika dan cara perwujudan sikap hidup beragama seorang yang menerima sesama yang beragama apapun sebagai sesama hamba Allah. Karena keyakinan seorang bahwa Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang mengasihi setiap manusia dan seluruh umat manusia tanpa diskriminasi berdasarkan kemaha-adilan Tuhan, maka dia pun wajib dan tak punya pilihan lain, selain mengasihi sesamanya tanpa diskriminasi berdasarkan agama, budaya, etnik, profesi, atau kepentingan tertentu yang berbeda. Perbedaan ciptaan Allah ditengah alam semesta adalah suatu keniscayaan yang patut diterima sebagai anugerah yang harus disyukuri. Hal demikian harus menjadi lebih nyata pada hidup beragama di tengah pluralitas agama sebagai keniscayaan yang diterima dan disyukuri sebagai anugerah Allah.

Seorang yang tulus dalam beragama akan menghormati, menghargai dan bahkan mengasihi atau merahmati sesamanya karena sesamanya adalah manusia yang dikasihi Allah. Seorang yang tulus beragama mengasihi sesamanya hanya dengan berpamrih pada Tuhan sebagai sumber segala kasih dan rahmat. Kasih atau cinta kepada sesama manusia harus dapat menembus atribut-atribut yang mengemasnya. Atribut-atribut perbedaan yang melekat pada diri seorang tak harus menjadi perisai yang menangkis atau menangkal kasih atau rahmat yang diberikan oleh orang lain kepadanya. Secara hakiki, manusia adalah manusia ciptaan Allah sehingga saling berbeda tidak mengharuskan seorang untuk berlaku tak adil dengan membeda-bedakan seorang dengan dirinya sendiri atau dengan orang lain atau dengan memperlakukan sesama secara diskriminasi karena berbeda agama, suku, atau status dan lain sebagainya.

Membedakan diri sendiri dengan orang lain adalah perbuatan akal sehat, tetapi membeda-bedakan atau melakukan diskriminasi terhadap orang lain justru bertentangan dengan akal sehat dan nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh umat beragama dari setiap agama yang saling berbeda. Karena itu, membeda-bedakan manusia berdasarkan perbedaan agama sesungguhnya bertentangan dengan ajaran agama. Sebagai bangsa yang beragama, sepatutnya kita menjadi contoh terbaik bagi umat manusia sedunia dengan cara hidup yang saling mengasihi dan saling merahmati dengan menerima perbedaan agama sebagai rahmat Allah.

C. Keniscayaan Pluralitas Budaya dan Agama

Pluralitas berasal dari bahasa Inggris, plural, antonym dari kata singular, secara genetika ia berarti kejamakan atau kemajemukan. Dengan kata lain, ia adalah kondisi objektif dalam suatu masyarakat yang terdapat didalamnya sejumlah kelompok saling berbeda, baik strata ekonomi, ideologi, keimanan, maupun latar belakang etnis.

Secara filosofis, pluralitas dibangun dari prinsip pluralisme, yaitu sikap, pemahaman dan kesadaran terhadap kenyataan adanya kemajemukan, keragaman sebagai sebuah keniscayaan, sekaligus ikut secara aktif memberikan makna signifikannya dalam konteks pembinaan dan perwujudan kehidupan berbangsa dan bernegara kearah manusiawi yang bermartabat.

Pluralitas adalah keragaman dalam sebuah wujud persatuan. Keragaman, keunikan, dan parsial itu merupakan realitas yang tak terbantahkan, secara sosiologis, manusia terdiri dari berbagai etnis dan budaya yang saling berbeda dan mengikat dirinya antara satu dengan lainnya.

Salah satu yang paling penting dalam ranah pluralitas adalah sesuatu yang terkait dengan kepercayaan atau agama yang dianut oleh masyarakat. Pluralitas agama sangat mewarnai sejarah kehidupan, sosial, tidak terkecuali masyarakat kontemporer, baik dalam skala kecil maupun skala besar, terutama pada negara-negara yang sangat mengedepankan relegiusitas.

Keragaman agama, sebagaimana keragaman etnisitas suku dan bangsa, juga dipahami dalam satu perspektif kemanusiaan yang hidup berdampingan dengan kekhasannya membangun kehidupan bersama, keunikan-unikan ini bukanlah ancaman terhadap pemeluk agama yang satu terhadap eksistensi agama yang lainnya, tetapi akan lebih memperjelas keunikan sendiri. Agama yang dianut oleh seorang pemeluknya menjadi identitas pribadinya sekaligus cerminan kesucian agamanya. Prof. Dr. H. Said Agil Husain al-Munawar, (2005;89).

BAB IV

ANALISA DAN PENUTUP

A. Agama, Ideologi, dan Budaya

Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut “agama” (religious). Terdapat banyak tema agama termasuk dalam superstruktur: agama terdiri atas tipe-tipe simbol, citra, kepercayaan, dan nilai-nilai spesifik dengan mana makhluk manusia menginterpretasikan eksistensi mereka. Akan tetapi, karena agama juga mengandung komponen ritual, maka sebagian agama tergolong juga dalam struktur sosial.

Agama berasal dari bahasa Sanskrit, yang mempunyai arti: tidak pergi, tidak kocar-kacir, tetap di tempat dan diwarisi turun-temurun. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa agama itu berarti teks atau kitab suci dan atau tuntunan. Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa agama itu ajarannya bersifat tetap dan diwariskan secara turun-temurun, mempunyai kitab suci dan berfungsi sebagai tuntunan hidup bagi penganutnya.

“Din” dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan. Agama memang membawa peraturan-peraturan yang merupakan hukum yang harus dipatuhi, menguasai dan menundukkan untuk patuh kepada aturan Tuhan dengan menjalankan ajaran-ajarannya sebagai suatu kewajiban, merasa berutang bagi yang meninggalkan kewajiban yang telah biasa dilakukannya, memberi balasan baik bagi yang mematuhinya dan balasan tidak baik bagi yang melanggarnya.

Sedangkan kata “religi” berasal dari bahasa Latin, mempunyai arti mengumpulkan, membaca dan mengikat. Agama memang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan dan kumpulan aturan-aturan lainnya yang dikumpulkan dalam kitab suci yang harus dibaca, dan di samping itu, agama juga mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia, ikatan antara manusia dengan kekuatan yang lebih tinggi atau ikatan antara manusia dengan Tuhan-nya. Sedangkan komponen-komponen atau unsur – unsur penting yang ada atau yang harus ada dalam agama adalah: 1) Kekuatan gaib. 2) Keyakinan manusia 3) Respons yang bersifat emosional dari manusia. 4) Paham adanya yang kudus {sacred) dan suci dalam bentuk kekuatan gaib. Maka agama dapat diartikan sebagai jalan yang harus dilalui dan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk dapat berhubungan dengan kekuatan gaib dan supranatural melalui aktivitas penyembahan dan pemujaan agar hidup bahagia dan sejahtera.

Sedangkan Ideologi dapat berarti suatu faham atau ajaran yang mempunyai nilai kebenaran atau dianggap benar sebagai hasil kontemplasi (perenungan) manusia baik berdasarkan wahyu maupun hasil kontemplasi akal budi secara murni. Ideologi ini biasanya merupakan hasil kerja para filosof atau orang yang mau dan mampu menggunakan akalnya untuk memikirkan tentang diri dan lingkungannya atau segala yang ada. Contoh : Ideologi sosialis-komunis dan liberalis-kapitalis di dunia Eropa Timur dan dunia Barat, dan faham Jabariah dan Qadariah di dunia Islam adalah contoh dalam hal ini.

Ideologi ini dapat melahirkan suatu kebudayaan, di samping ideologi itu sendiri merupakan kebudayaan, karena kebudayaan adalah hasil dunia, rasa dan karsa manusia dalam arti yang seluas-luasnya. Dengan demikian, ideologi itu mesti kebudayaan tetapi kebudayaan belum tentu menjadi ideologi.

Dalam kehidupan sehari-hari, antara agama (wahyu), ideologi dan kebudayaan seringkali sulit untuk dibedakan. Karena ketiganya sama-sama dapat dijadikan sebagai pedoman hidup walaupun-masing-masing mempunyai nilai yang berbeda. Agama dapat di ideologikan dan dibudayakan. Sebaliknya ideologi dan kebudayaan dapat diagamakan. Agama (wahyu) pada dasarnya bukan ideologi — dan memang bukan ideologi—akan tetapi dapat dijadikan sebagai ideologi apabila agama (wahyu) itu sudah dipersepsi oleh seseorang atau sejumlah orang dan dijadikan sebagai pedoman dalam hidupnya.

Sedangkan kerkaitan agama dengan adalah ajaran suatu agama yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh penganutnya sehingga menghasilkan suatu karya/budaya tertentu yang mencerminkan ajaran agama yang dibudayakannya itu. Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa membudayakan agama berarti membumikan dan melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Memandang agama bukan sebagai peraturan yang dibuat oleh Tuhan untuk menyenangkan Tuhan, melainkan agama itu sebagai kebutuhan manusia dan untuk kebaikan manusia. Adanya agama merupakan hakekat perwujudan Tuhan.

Seperti dalam mengideologikan agama, pembudayaan suatu agama dapat mengangkat citra agama apabila pembudayaan itu dilakukan dengan tepat dan penuh tanggung jawab sehingga mampu mencerminkan agamanya. Sebaliknya dapat menurunkan nilai agama apabila dilakukan dengan tidak bertanggung jawab.

Agama Wahyu (langit) dan Agama Budaya (adat istiadat)

Sedangkan ideologi dan kebudayaan yang diagamakan maksudnya adalah suatu ideologi atau kebudayaan yang mempunyai nilai kebenaran — walau sebenarnya relatif — atau dianggap benar atau dapat memberikan kepuasan. Ideologi atau kebudayaan itu diwariskan turun-temurun, disakralkan dan lebih dari itu dipercayainya sebagai doktrin yang harus diikuti. Inilah proses lahirnya agama budaya atau agama ardli.

Maka dapat dijelaskan bahwa agama (wahyu) dapat dijadikan sebagai ideologi, melahirkan ideologi dan kebudayaan. Akan tetapi agama wahyu itu bukan ideologi dan bukan pula kebudayaan. Ideologi dan kebudayaan dapat merupakan pencerminan dari suatu agama apabila hal itu dilakukan oleh seorang yang taat beragama. Sebaliknya, tanpa wahyu pun manusia dapat menciptakan ideologi dan kebudayaan dan dapat pula melahirkan suatu agama yaitu agama budaya.

Ditinjau dari sumbernya, agama-agama yang dipeluk umat manusia di dunia ini dapat diklasifikasi menjadi dua bagian yaitu agama wahyu dan agama budaya. Agama wahyu disebut juga dengan agama langit, agama profetis dan revealed relegion. Yang termasuk agama wahyu dapat disebutkan di sini misalnya agama Yahudi, agama Kristen dan agama Islam. Sedangkan agama budaya disebut juga sebagai agama bumi, agama filsafat, agama akal, non-revealed relegion dan natural relegion. Yang termasuk agama budaya dapat disebutkan di sini misalnya: Agama Hindu, Budha, Kong Hu Cu, Shinto dan sebagainya, termasuk aliran kepercayaan.

B. Islam sebagai Ideologi

Ditinjau dari segi munculnya, agama-agama selain monoteisme murni merupakan hasil kontemplasi manusia, sedangkan monoteisme murni merupakan wahyu dan hasil ciptaan Tuhan (Satu zat yang diyakini keabsolutannya). Ragam agama yang terakhir ini merupakan jawaban dari pertolongan Tuhan terhadap manusia setelah “gagal” mencari kedamaian dan atau kebenaran hakiki melalui indera. Dapat dikatakan bahwa agama monoteisme murni merupakan jawaban yang paling tepat dan final dalam mencari agama serta kebenaran hakiki yang dicia-citakan.

Di sinilah letak urgensinya studi awal terhadap agama; menemukan agama monoteisme murni untuk dipeluk berarti telah memegang kunci kebenaran serta Kedamaian yang sebenarnya, sebab kunci itu milik dan datang dari pemilik kebenaran yang sebenarnya. Dialah Tuhan Yang Satu. Selanjutnya, meyakini, melakukan dan komitmen terhadap ajaran-ajaran agama berarti telah hidup sesuai dengan kehendak-Nya dan berada dalam kebenaran serta kedamaian-Nya. Inilah yang sebenarnya dicari-cari manusia (fitrah).

Bila kita amati secara obyektif, Islam telah memiliki ciri-ciri di atas, baik konsep Ketuhanan, Kerasulan dan ajaran-ajaran yang menunjukkan kesatuan (Tauhid) yang murni. Untuk membuktikan bahwa Islam tidak memiliki ciri-ciri khusus di atas sama sulitnya dengan membuktikan adanya ciri-ciri tersebut dalam agama selain Islam, bahkan tidaklah mungkin. Syarat mencapai suatu kebenaran dan kedamaian yang sebenarnya haruslah terlebih dahulu mengenal Islam secara tepat dan benar. Kemudian, komitmen terhadap ajaran-ajarannya.

Para linguist bahasa Arab menyatakan bahwa kata “Islam” berasal dari kata “aslama”, berarti “patuh” dan “menyerahkan diri”. Kata ini berakar pada kata “slim”, berarti “selamat sejahtera”, mengandung pengertian “damai”. Orang yang menyatakan dirinya Islam atau berserah diri, tunduk dan patuh kepada kehendak penciptanya disebut “Muslim”. Kedua asal kata Islam yakni “aslama” dan “silm” mempunyai hubungan pengertian yang mendasar. Adanya kata pertama karena kata kedua, adanya penyerahan diri (= kata aslama) karena adanya tujuan hidup damai (= silm).

Terwujudnya suatu “kedamaian” apabila adanya penyerahan serta kepatuhan (Islam) terhadap Sang Pencipta. Dalam hal ini Allah telah berjanji kepada siapa pun yang menyerahkan diri disertai dengan amal saleh, akan mendapatkan kedamaian, sebab dalam penyerahan (Islam) ini terdapat konsekuensi sikap muslim yang logis, tidak pernah gentar, pesimis dan takut dalam hidupnya.

Al Qur’an mempergunakan kata Islam di berbagai tempat dengan pengertian yang berbeda-beda, namun pada prinsipnya mengarah pemahaman yang sama. Pengertian Islam secara umum: mengandung dimensi-dimensi iman yang tidak dikotori oleh unsur-unsur syirik, tunduk disertai dengan ikhlas hanya kepada Allah, berserah diri disertai dengan amal saleh serta sikap tegar dan optimistis. Jadi pengertian Islam secara lughowi pada prinsipnya: Penyerahan diri secara bulat kepada Allah yang melahirkan satu sikap hidup tertentu.

Para orientalis menyebut “Islam” dengan istilah “Muhammadan-isme” mereka mengasosiasikan sebutan ini dengan sebutan-sebutan bagi agama-agama selain Islam yang dianologikan pada pembawanya atau tempat kelahirannya. Agama Nasrani diambil dari negeri kelahirannya (Nazaret). Kristen, diambil dari nama pembawanya 0esus Kristus). Budha (Budhisme) dari nama pembawanya (Sang Budha Gautama), Zoroaster (Zoroasteranisme) dari pendirinya, Yahudi (Yuda-isme) dari negerinya (Yudea).

Namun nama “Islam” mengandung pengertian yang mendasar. Agama Islam bukanlah milik pembawanya yang bersifat individual ataupun milik dan diperuntukkan suatu golongan atau negara tertentu. Islam sebagai agama universal dan eternal merupakan wujud realisasi konsep Rahmatan lil Alamin (rahmat bagi seluruh umat). Istilah “Mohammadanisme” membuka peluang bagi timbulnya berbagai interpretasi serta persepsi terhadap Islam yang diidentikkan dengan agama-agama lain yang jelas berbeda konsepsi.

Sejak awal sejarah lahirnya manusia, terdapat satu bentuk petunjuk yang berupa wahyu ilahi melalui seorang rasul (agama Allah). Agama-agama Allah tersebut pada prinsipnya Agama Islam (= agama yang menyerahkan diri hanya kepada Tuhan Yang Satu). Kalau di sana terdapat perbedaan-perbedaan, karena perbedaan dalam memahami konsep-konsep yang bersifat umum dalam masalah-masalah mua’malah dan bukanlah masalah yang fundamental.

Mengenai konsep Tuhan Yang Satu dan ajaran penyerahan diri kepada Allah, tetaplah sama. Hubungan semua rasul sejak Adam a.s. sampai Muhammad s.a.w., berdasarkan ajaran yang mereka bawakan, bagaikan mata rantai yang selalu datang berkesinambungan dan merupakan penyempurnaan ajaran sebelumnya sehingga agama Allah tersebut akan mampu menjawab seluruh hajat manusia di pelbagai zaman, kapan dan di mana saja. Mengenai konsep totalitas serta ke-sempurnaan agama Islam maupun keabsahannya dari agama-agama Allah yang lain yang datang sebelumnya.

C. Islam sebagai Budaya dalam perspektif masyarakat.

Keberadaan Islam di Indonesia secara historis tidak terlepas dari sejarah Islam masuk Pertama kali di Tanah Jawa. Menurut salah satu Literatur dengan judul ” Jejak Kanjeng Sunan, Perjuangan Wali Songo ”(1999) yang diterbitkan oleh Yayasan Festival Walisongo; dalam sejarah Syeh Maulana Malik Ibrahim menceritakan bahwa masuknya Islam di Jawa Pertama kali dibawa oleh Syeh Maulana Malik Ibrahim dan sebagai pendiri Pondok Pesantren Pertama di Indonesia.

Menurut buku ” Jejak Kanjeng Sunan, Perjuangan Wali Songo ”(1999). Para ahli berpendapat bahwa sekitar tahun 1416 M agama Islam sudah mulai dikenal oleh masyarakat Jawa, bahkan menurut sumber Tiongkok, ketika perutusan Tiongkok datang ke Jawa Timur 1413 M, mereka melihat adanya tiga masyarakat, yaitu :

Orang – orang Islam yang berpakaian bersih, hidupnya teratur dan makanannya enak-enak. Orang – orang Cina yang pola hidupnya hampir sama dengan orang Islam, bahkan di antara mereka banyak yang sudah muslim. Penduduk setempat yang masih kotor-kotor, tidak bersongkok dan tidak bersepatu.

Pada masa itu, masyarakat Jawa pada umumnya adalah penganut animisme dan dinamisme yang juga sebagai pemeluk agama Hindu/Budha dan berada dibawah pemerintahan kerajaan Mojopahit. Masyarakat menganut struktur sosial yang berkasta, yaitu kasta sudra, kasta waisya, kasta ksatria dan kasta brahmana. Model masyarakat inilah yang menjadi obyek dakwah para penyebar agama Islam, walaupun mereka bukan orang Jawa asli tetapi mampu mengantisipasi keadaan masyarakat yang dihadapinya.

Sebagaimana sudah menjadi wacana yang amat familiar dalam dunia akademik, Geertz menulis sebuah buku yang amat menggemparkan jagat akademik Indonesia: The Religion of Java. Dalam buku yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, tentang Agama masyarakat Jawa ini, memaparkan tipologi atau kategori agama masyarakat Jawa melalui tiga varian yang disebutnya: Abangan, Santri, dan Priyayi,seperti yang dikutip diatas. Menurut Geertz, tiga varian keberagamaan masyarakat Jawa diambil dari istilah yang digunakan oleh orang Jawa sendiri ketika mendefinisikan kategori keagamaan mereka.

Deskripsi singkat dari tiap-tiap tipologi keagamaan tadi dapat dikemukakan demikian. Pertama, Abangan. Istilah ini didefinisikan oleh Geertz sebagai teologi dan ideologi orang Jawa yang memadukan atau mengintegrasikan unsur-unsur animistik, Hindu, dan Islam.

Pengejawantahan dari kelompok sosial Abangan ini dapat dilihat dalam berbagai kepercayaan masyarakat Jawa terhadap berbagai jenis makhluk halus, seperti memedi (suatu istilah untuk makhluk halus secara umum), tuyul (makhluk halus yang menyerupai anak-anak, tapi bukan manusia), lelembut (makhluk halus yang mempunyai sifat kebalikan dari memedi, yaitu masuk ke dalam tubuh manusia dan menyebabkan seseorang jatuh sakit atau gila), dan sebagainya. Kalangan Abangan juga sangat rajin dalam mengadakan berbagai upacara slametan, seperti: Slametan kelahiran, Slametan khitanan, Slametan perkawinan, Slametan kematian, Slametan desa, Slametan Suro (bersih deso).

Kedua, Santri. Geertz mendefinisikan santri sebagai orang Islam yang taat pada ajaran-ajaran atau doktrin agama dan menjalankannya secara taat berdasarkan tuntunan yang diberikan agama. Dengan definisi itu, agaknya kata lain yang lebih cocok untuk menyubstitusi istilah santri adalah Muslim sejati. Berbeda dengan kalangan Abangan yang cenderung mengabaikan terhadap berbagai ritual Islam, kalangan santri ini justru sangat patuh terhadap doktrin Islam dan ritual, dengan titik kuat pada keyakinan dan keimanan.

Tampaknya, dalam penelitian Geertz, tipologi Santri ini juga mempunyai sub-sub tipologi atau subvarian, yaitu ada yang disebut santri konservatif dan santri modern. Santri konservatif atau santri kolot adalah kelompok santri yang cenderung bersikap toleran terhadap berbagai praktik keagamaan setempat yang merupakan warisan nenek moyang, seperti tradisi slametan. Santri konservatif ini juga diindikasikan dengan masih kuatnya mereka berpegang pada rujukan Kitab Kuning dalam kelompok santri konservatif ini. Sementara itu santri modern adalah mereka yang cenderung meninggalkan ritualitas konservatif tersebut.

Ketiga, Priyayi. Geertz mendefinisikan priyayi sebagai kelompok orang yang mempunyai garis keturunan (trah) bangsawan atau darah biru, yakni mereka yang mempunyai kaitan langsung dengan raja-raja Jawa dahulu. Tampaknya, varian ini mengalami pemekaran makna yang cukup signifikan. Saat ini, mereka yang mempunyai status sosial cukup tinggi, baik karena banyak harta atau mempunyai jabatan tertentu, dapat dikategorikan sebagai kalangan priyayi modern.

Pengejawantahan dari kelompok sosial priyayi ini dapat dilihat dalam berbagai etiket, seni dan praktik mistik. Etiket di kalangan Priyayi menyangkut bahasa lisan dan bahasa sikap. Bahasa lisan terlihat dari tingkatan bahasa yang dipakai dalam percakapan sehari-hari. Sementara itu, aspek seni dan kepercayaan priyayi dinyatakan dalam berbagai manifestasi, seperti yang dinyatakan dalam bentuk tembang atau disebut juga dengan istilah wirama. Adapun aspek mistik merupakan kelanjutan dari aspek seni tadi. Tujuan yang hendak dicapai dengan adanya praktik mistik ini adalah mencapai kejernihan pengetahuan yang dalam.

Pengaruh Islam dapat dikatakan tidaklah terlalu besar. Agama ini hanya menyentuh kulit luar budaya Hindu-Budha-Animistis yang telah berakar kuat. Akibatnya Islam menurut pendapat Geertz, C (1975)” Islam tidak bergerak ke wilayah baru, melainkan ke salah satu wilayah bentukan politik,estetika, religius dan sosial terbesar di Asia, yakni kerajaan Jawa Hindu/Budha, yang walaupun pada masa itu mulai melemah, telah berakar kuat di masyarakat Indonesia (khususnya di Jawa, walau tak hanya disana).

Fenomena ini juga dijelaskan , menurut Muhaimin (2002) di Jawa, ”Islam tidak menyusun bangunan peradaban, tapi hanya menyelaraskannya”. Bagi masyarakat Jawa, Islam adalah Tradisi asing yang dipeluk dan dibawa oleh para saudagar musafir di pesisir. Melalui proses panjang asimilasi secara damai dan berhasil membentuk kantong-kantong masyarakat pedagang di beberapa kota besar dan dikalangan petani kaya. Komunitas muslim itu kemudian memeluk suatu sinkritisme yang menekankan aspek kebudayaan Islam. Hasil dari seluruh proses tersebut adalah masyarakat Jawa kontemporer dengan sejumlah kelompok sosio-religiusnya yang rumit, yang terdiri atas : a) Abangan, atau mereka yang masih menitik beratkan unsur animistis dari keseluruhan sinkritisme Jawa dan berkaitan erat dengan elemen petani. b) Santri, yang menekankan unsur sinkritisme Islami dan umumnya berkaitan dengan elemen pedagang dan dengan elemen petani tertentu. c) Priyayi, yang menitik beratkan unsur Hinduisme dan berkaitan dengan elemen-elemen birokrat.

Keadaan kebudayaan masyarakat ini sebenarnya seirama dengan situasi etnis (suku bangsa) pendatang, dimana secara tegas tidak diketahui secara pasti ketika itu. Yang dapat diketahui sesudah berkembangnya agama Islam di Jawa. Sampai sekarang terlihat bahwa kebudayaan mereka berlatar belakang ajaran Islam. Adat istiadat yang berkembang di daerah Jawa tetap bernafaskan Islam, walaupun bentuk dan tata cara pelaksanaanya berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat lain dalam satu desa. Bahkan juga kesenian dan kebudayaan lainnya turut berkembang sehingga terlihat adanya percampuran antara Hindu dan Islam contoh pagelaran wayang kulit, budaya slametan, pitonan bayi, bersih deso, penerapan penanggalan Jawa : legi,pon,wage,pahing kliwon.

Adanya kepercayaan animisme/dinamisme. Dimana orang-orang Islam yang ada di Jawa, sebagian masih percaya dengan animisme dan dinamisme. Misalnya , ketika seseorang menggali sumur, saat itu agak emosi karena ada sesuatu yang kurang pas dengan pekerja sawahnya. Ketika emosi muncul tiba-tiba galian tanah yang mau dipakai untuk sumur tidak bisa dilanjutkan karena ada pondasi yang terbuat dari batu merah persis batu merah yang ada di candi Trowulan, Mojokerto. Akhirnya mereka berhenti dan pulang. besuknya, mereka mau menggali sumur di tempat sebelahnya. Sesampainya di sawah, Ternyata pondasi sudah tidak ada lagi. Karena pondasi sudah tidak ada lagi, mereka melanjutkan penggaliannya di tempat itu dengan keyakinan bahwa di tempat ini ada danyangnya (makhluk ghaib yang menjaga tempat itu). Maka dengan hormatnya mereka mengadakan ritual adat berupa permintaan maaf dan permohonan ijin kepada sang penunggu dengan sesaji berupa slametan. Kejadian semacam tadi tidak hanya dialami oleh satu orang saja, tetapi masih ada lagi pengalaman nyata yang dialami oleh orang-orang Islam lainnya yang ada di Jawa dan bukan menjadi rahasia umum lagi.

Akhirnya, Geertz sampai pada muara kesimpulan bahwa yang dinamakan agama Jawa tidak lain adalah sinkretisme. la melihat adanya perpaduan antara kepercayaan asli masyarakat Jawa dan kepercayaan Islam yang datang belakangan. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dalam praktik slametan yang biasanya dilakukan oleh kalangan Abangan. Pada praktik slametan terkandung berbagai unsur adat lokal dan Islam. Di situ ada praktik magis berupa kepercayaan kepada roh, dan ada pula penyisipan unsur Islam, yaitu doa yang dikumandangkan pada saat selesai melakukan acara slemetan. Sehingga Islam melebur dalam budaya masyarakat dan mampu mewarnai setiap gerak kehidupan yang ada tanpa melepaskan akidah dan syariatnya.

D. Solusi Untuk mempertemukan Agama dan Budaya

Secara nasional, diperlukan adanya itikad baik secara politis untuk mengembangkan berbagai kebijakan publik yang konsisten dengan filosofi kebhinekaan untuk menghindar dari kemungkinan penyalahgunaan kebijakan dimaksud oleh oknum atau kelompok tertentu yang dengan sengaja mengeksploitasi paradigma mayoritas-minoritas yang pada dasarnya bersumber dari nilai-nilai politik aliran bagi kepentingan elit tertentu. Oleh sebab itu, rasa mayoritas yang selama ini mewarnai sikap dan perilaku umat Muslim Indonesia harus diminimalkan melalui berbagai cara termasuk sosialisasi nilai dan cara pandang yang berorientasi humanistik. Ini bertolak dari pandangan bahwa mayoritas fisik kaum Muslim Indonesia tidak perlu dieksploitasi dengan berbagai cara; bahkan sebaliknya, keberadaan tersebut seyogianya bisa memfasilitasi rasa aman dan kenyamanan hidup kelompok masyarakat minoritas, termasuk mendorong proses demokratisasi yang bertumpu pada merit system.

Pilihan model pembangunan perlu mendapat perhatian pula. Sebab secara de facto, selama ini praktek pembangunan cenderung menjadikan manusia hanya sebagai objek semata. Pertimbangan filosofis yang mengedepankan nilai-nilai humanistik dimana manusia sebagai subjek atau pelaku pembangunan yang proaktif dan produktif, harus diprioritaskan. Pendekatan ini sebetulnya merupakan upaya untuk mewujud-nyatakan nilai-nilai demokratis, karena rakyat atau masyarakat terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan mereka.

Disamping itu, berbagai upaya praktis perlu dikembangkan pula terutama untuk memberi pengakuan secara jelas dan tegas (de jure) atas eksistensi komunitas lokal/daerah dengan budayanya. Dengan demikian, beberapa regulasi nasional yang sangat prinsip seperti Pemerintahan Daerah dan Pemerintahan Desa perlu disesuaikan dengan realitas objektif yang menjadi kebutuhan masyarakat lokal di tingkat daerah.

Demikian halnya dengan distribusi dan alokasi kebijakan-kebijakan pembangunan dan hasil-hasilnya yang harus diterapkan berdasarkan prinsip keadilan tanpa pertimbangan mayoritas-minoritas atau koneksitas. Prinsip keadilan yang dimaksudkan ini adalah keadilan yang berorientasi pada kebutuhan dan prestasi. Oleh sebab itu, distribusi dan alokasi dimaksud harus ditujukan kepada mereka atau kelompok masyarakat yang membutuhkan dan bukan sebaliknya; begitu pula dengan rekruitmen yang harus mengakomodir mereka yang memiliki kemampuan teruji, mempunyai komitmen sosial yang tinggi, dan lain-lain, dan bukan yang sebaliknya. Begitu pula dengan kesediaan tanpa reserve dari Pemerintah Pusat untuk secara konsisten memberi alokasi nilai-nilai otoritatif kepada Pemerintah daerah melalui prinsip otonomi yang seluas-luasnya. Alokasi otoritatif demikian akan memungkinkan Pemerintah daerah melakukan pengambilna keputusan yang adaptif dan kondusif dengan tuntutan aspirasi masyarakat, sekaligus mencari peluang-peluang ekonomi baru yang bisa menstimulasi pembangunan dalam berbagai aspek.

Penumpukan kekuatan terutama yang bersifat politis dengan muatan agama atau politisasi agama yang sementara terjadi, harus dapat dikendalikan secara bijak oleh pemerintah. Hal ini disebabkan, penumpukan kekuatan tersebut sangat tidak fungsional dengan kebutuhan pembangunan dalam kerangka memfasilitasi terwujudnya tatanan masyarakat madani yang demokratis. Sentimen atau emosi massa yang primordialistik hanya akan merupakan "bom waktu" yang setiap saat dapat meledak, karena seringkali dieksploitasi untuk kepentingan orang-perorangan atau kelompok tertentu saja.

Dalam konteks nasional, Pemerintah Pusat harus bisa pula menempatkan diri dan berperan secara arif dalam menyikapi tuntutan dan aspirasi masyarakat yang hidup dan berkembang, mengingat realitas kebhinekaan bangsa dalam berbagai aspek kehidupannya. Memenuhi keinginan kelompok tertentu saja dan mengabaikan atau tanpa mempertimbangkan kondisi kelompok-kelompok masyarakat lainnya, hanya akan menciptakan akumulasi masalah yang siap meledak sewaktu-waktu. Dengan demikian, perlu ada konsistensi sikap dan perilaku aparat pemerintah dalam menterjemahkan makna filosofi Bhineka Tunggal Ika dalam berbagai kebijakan pembangunan yang adil dan jujur.

Pada tataran lokal atau daerah, diperlukan pula keadilan dalam distribusi dan alokasi sumber-sumber politik dan ekonomi secara merata berdasarkan prinsip merit system. Dengan demikian, dapat dihindari ketersinggungan sosial ekonomi yang terjadi selama ini. Artinya, kebijakan publik yang diatur oleh baik eksekutif maupun legislatif di tingkat daerah harus sesuai dengan konstelasi sosial budaya dan harapan-harapan yang ada ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat.. Begitu pula dengan kedudukan peranan institusi adat yang perlu direvitalisasi dan dire-interpretasi sesuai aktualita kebutuhan masyarakat dan pembangunan.

Adalah sangat naif dan tidak logis apabila solusi di tingkat lokal menyamaratakan treatment kepada kelompok masyarakat yang bermukim di desa dan di kota. Sebab, struktur sosial budaya, ekonomi dan politik wilayah pedesaan sangat berbeda dengan perkotaan. Upaya penguatan ini harus dilakukan secara menyeluruh, dalam arti menghidupkan pula berbagai lembaga pendukung lainnya seperti penyesuaian atas eksistensi sistim pemerintahan adat.

Hak-hak dan kewajiban Anak Negeri – Orang Dagang/Pendatang berdasarkan adat yang tidak bertentangan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, perlu dipertegas kembali. Hal ini dimaksudkan agar timbul rasa menghormati dan menghargai antar Anak Negeri maupun oleh Orang Dagang. Hal ini harus diikuti dengan pemberdayaan Anak Negeri dalam sektor ekonomi, karena asset yang dimiliki selama ini belum dimanfaatkan secara optimal. Dengan cara demikian, diharapkan bisa meminimalkan gesekan sosial ekonomi, karena pilihan segmen pasar semakin terbuka atau meluas dan dapat dimasuki oleh berbagai lapisan masyarakat Anak Negeri. Apabila hubungan antar Anak Negeri dapat direhabilitasi, maka potensi konflik massal seperti yang terjadi saat ini dapat diredam meskipun ada provokasi misalnya yang dengan sengaja dilakukan oleh orang luar.

Apa yang disebutkan di atas perlu mendapat perhatian tidak saja dari Pemerintah daerah, tetapi juga oleh institusi agama yang mempunyai akses langsung kepada masyarakat dan berada di lini terdepan dalam pembangunan. Artinya, upaya pemberdayaan sumberdaya manusia lokal perlu didukung melalui peran institusi agama, paling tidak dalam rangka melakukan reorientasi nilai untuk menghadirkan ethos kerja yang bertumpu pada profesionalisme yang profitable tanpa mengabaikan prinsip atau nilai-nilai kebersamaan.

Dalam rangka menghilangkan rasa curiga sekaligus menciptakan rasa keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, maka upaya penegakan hukum (law enforcement) di berbagai bidang kehidupan masyarakat khususnya yang terkait dengan masalah kerusuhan, harus dilakukan tanpa pandang bulu. Sehubungan dengan ini, lembaga peradilan dan aparat penyidik harus mampu mandiri, bebas dari intervensi kepentingan politik, apalagi terpengaruh oleh kekuatan orang atau kelompok tertentu yang dengan sengaja ingin melakukan intervensi ke dalam proses penegakan hukum.

Untuk memfasilitasi upaya perdamaian, aparat Pemerintah daerah dan instansi terkait diharapkan mampu menumbuhkembangkan manajemen isyu untuk merespon berbagai isyu negatif berpotensi destruktif yang sangat mungkin muncul dan mengganggu proses rekonsiliasi yang diupayakan. Sosialisasi kemajuan yang berhasil dicapai dalam upaya ini, perlu diteruskan kepada seluruh lapisan masyarakat baik di kota maupun desa, sekaligus menjaga hubungan dialogis dengan masyarakat agar mereka ikut merasa terlibat bersama-sama dengan aparat pemerintah dalam mengusahakan .

Kemudian, hal yang tidak kalah pentingnya dan ikut mempengaruhi secara tidak langsung proses rekonsiliasi yang diusahakan adalah tanggung jawab (terutama) pemerintah dan masyarakat untuk bagaimana menciptakan suasana yang kondusif sambil meluruskan citra masyarakat khususnya yang beragama Kristen yang terlanjur negatif di mata publik nasional.

Disadari pula bahwa kerusuhan yang terjadi telah bermuara pada sentimen balas dendam dari para korban. Ini berarti diperlukan terapi khusus yang terkonsepsi dan strategis terhadap para korban, sehingga bisa meminimalkan keinginan balas dendam yang hanya akan melahirkan masalah secara berkepanjangan. Beberapa langkah strategis yang disarankan untuk mengatasi kondisi psikologis ini adalah:

Melakukan penegakan hukum secara tegas dan bijaksana, tanpa pandang bulu. Implementasi law enforcement yang demikian, akan memberi rasa adil dan kepuasan dari para korban terhadap mereka yang secara nyata telah melakukan tindak kriminalitas.

Mengusahakan peran pendampingan (konseling) dengan melibatkan berbagai kalangan yang berpotensi, dengan maksud merangsang kesadaran dan semangat hidup dari mereka yang menjadi korban kerusuhan baik karena kehilangan harta benda maupun nyawa.

Meminta secara serius perhatian para pemuka agama untuk secara sistimatis melakukan pelayanan-pelayanan yang bersifat pastoral agar kehidupan umat khususnya para korban bisa memperoleh penghiburan. Dengan demikian, diharapkan pemulihan kondisi psikologis ini dapat membantu meredanya keinginan-keinginan balas dendam.

E. Kesimpulan

Peranan kebudayaan terhadap agama dalam masyarakat yaitu dapat dipakai untuk memahami agama tentu walaupun hanya dari dataran empirik atau dalam bentuk formalnya yang menggejala dalam masyarakat
Peranan agama dalam menyikapi kemajemukan yaitu memberikan sumbangsi pemikiran bahwa hendaknya umat yang berbeda itu menjalin sumber rahmat dan kasih bagi sesamanya dengan cara hidup yang saling mengasihi dan merahmati dengan menerima perbedaan agama sebagai rahmat Allah
Keniscayaan pluralitas budaya dan agama secara aktif memberikan makna signifikan dalam konteks pembinaan dan perwujudan kehidupan berbangsa dan bernegara kearah manusiawi yang bermartabat.

DAFTAR PUSTAKA

Sultan Takdir Alisjahbana, Antropologi Baru, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986).

H.M. Yusran Asmuni, Dirasah Ilmiyah I Pengantar Studi Al-Qur’an Al –Hadits Fiqh dan Pranata Sosial (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 1

Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid I (Jakarta: UI-Press, 1985), h. 1.

Prof. Dr. H. Said Agil Husain al-Munawar, M.A. Fikih Hubungan antar Agama (Cet. III; Jakarta: PT. Ciputat Press, 2005), h. 89.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar